Portal Jatim

Menyusuri Jejak Sejarah Berdirinya Sidoarjo

Redaksi
60
×

Menyusuri Jejak Sejarah Berdirinya Sidoarjo

Sebarkan artikel ini

SIDOARJO — Kabupaten Sidoarjo tidak hanya dikenal sebagai penghasil utama bandeng dan udang yang menjadikannya dijuluki “Kota Udang”, tetapi juga sebagai “Kota Petis”, karena menghasilkan petis berkualitas tinggi yang menjadi ikon kuliner Jawa Timur.

Di balik kemajuan sektor ekonomi dan perikanan, Sidoarjo menyimpan sejarah panjang yang kaya, dari era Kerajaan Jenggala hingga masa kolonial Hindia Belanda.

Jejak Kerajaan Jenggala: Pusat Kejayaan Nusantara

Sejarah Sidoarjo berakar pada Kerajaan Jenggala, yang berdiri pada tahun 1042 M sebagai pecahan dari Kerajaan Kahuripan. Di bawah kepemimpinan Raja Mapanji Garasakan, Jenggala mencapai masa keemasan, terutama dalam bidang ekonomi dan perdagangan. Dengan Sungai Porong sebagai jalur transportasi utama, wilayah ini menjadi pusat perdagangan strategis setelah Sriwijaya.

Menurut pemerhati budaya sekaligus Kepala Bidang Pengelolaan dan Informasi Publik Kabupaten Sidoarjo, M. Wildan Kamis ( 29/01/2025) pusat pemerintahan Kerajaan Jenggala diperkirakan berada di sekitar Kecamatan Gedangan, yang hingga kini menjadi salah satu kawasan bersejarah di Sidoarjo. Selain sebagai lumbung padi Nusantara, Kerajaan Jenggala juga mempunyai peran penting dalam menyuplai kebutuhan pangan bagi kerajaan-kerajaan di sekitarnya.

Transformasi di Era Kolonial

Dalam perjalanan waktu, tepatnya pada tahun 1859, Pemerintah Hindia Belanda membagi Kabupaten Surabaya menjadi dua wilayah pemerintahan yaitu Kabupaten Surabaya dan Kabupaten Sidokare (Sidoarjo). Pembagian wilayah itu diputuskan dalam surat No.9/1859 pada tanggal 31 Januari 1859.

Sementara, pada saat itu Pemerintah Hindia Belanda mengangkat R Notopuro (R.T.P Tjokronegoro) untuk memimpin Kabupaten Sidokare. R Notopuro (R.T.P Tjokronegoro) saat itu bertempat tinggal di kampung Pandean (Sidoarjo).

Sejak adanya pemisahan antara Surabaya dengan Sidokare itulah menjadi cikal bakal berdirinya Kabupaten Sidoarjo. Terlebih, Pemerintah Hindia Belanda kembali menggeluarkan keputusan No.10/1859 pada 25 Mei 1859, merubah nama Kabupaten Sidokare menjadi Kabupaten Sidoarjo.

Baca Juga:
Bhabinkamtibmas Desa Bakung Temenggungan Dorong Ketahanan Pangan Lewat Pekarangan Bergizi

Pada tahun 1859, melalui Staatsblad No. 6, Hindia Belanda memutuskan untuk memisahkan wilayah Surabaya dan Sidokare menjadi dua kabupaten. Atas usulan Bupati pertama Sidoarjo, R.T.P. Tjokronegoro I ,

Karena mempunyai konotasi nama yang kurang bagus , nama Sidokare yang diartikan Sido (jadi ) dan kare ( dibelakang atau ketinggalan ) akhirnya nama itu diganti dengan nama Sidoarjo, yang memiliki arti filosofis Sido ( menjadi ) atau berhasil dan arjo artinya Makmur.

Sementara itu rumah dinas Bupati pertama Sidoarjo Tjokronegoro dipercaya berada di Jalan Raya Gajah Mada, yang kini menjadi lokasi Toko Kain BIMA.

Di masa pemerintahannya, Tjokronegoro I tidak hanya memperkuat struktur administrasi, tetapi juga melakukan renovasi Masjid Jami Al Abror, salah satu masjid tertua yang dibangun pada tahun 1678. Masjid ini menjadi ikon sejarah, lengkap dengan gapura kuno yang tetap berdiri hingga kini. Selain itu, Pendopo Kabupaten Sidoarjo, yang dibangun pada akhir abad ke-19, menjadi saksi penting keberadaan kolonial di wilayah ini.

Sidoarjo: Pusat Industri Gula dan Perdagangan

Pada abad ke-19, Sidoarjo menjadi pusat industri gula yang berkembang pesat. Tercatat ada sekitar 16 pabrik gula di hampir seluruh kecamatan, seperti PG Watoetulis , PG Buduran, PG Tulangan, serta PG Krembung dan PG Candi yang masih beroperasi hingga kini. Industri ini menjadikan Sidoarjo sebagai daerah makmur, meskipun industrialisasi juga membawa efek negatif seperti pengangguran di kalangan petani lokal.

Selain itu, Sidoarjo juga menjadi salah satu titik rekrutmen tenaga kerja kontrak untuk dikirim ke perkebunan di Sumatera dan Suriname. Banyak penduduk yang menghadapi tantangan berat di perantauan, meskipun sebagian kecil berhasil kembali dan membangun kehidupan di kampung halaman.

Masa Kini: Menghidupkan Kembali Semangat Kewirausahaan

Baca Juga:
Kepala BPJS Kesehatan Sidoarjo:  Laporkan Rumah Sakit yang Menarik Biaya dari Peserta JKN

M. Wildan menekankan pentingnya mengembangkan kewirausahaan berbasis sejarah dan budaya lokal. “Nenek moyang kita dahulu sangat kaya dan sejahtera. Itu harus menjadi inspirasi untuk melampaui yang sudah ada. Pendidikan, teknologi, dan inovasi harus menjadi prioritas, termasuk pola makan dan pola pikir yang lebih baik,” ujarnya.

Kini, Sidoarjo terus berkembang sebagai pusat UMKM yang berakar pada tradisi panjang perdagangan. Dari makanan khas seperti petis hingga kerajinan lokal, semangat masyarakat Sidoarjo dalam menjaga warisan budaya sekaligus beradaptasi dengan teknologi modern menjadi kunci keberhasilan.

Dengan menggabungkan sejarah kejayaan masa lalu dan potensi masa kini, Sidoarjo membuktikan bahwa kota ini bukan hanya tentang udang dan petis, tetapi juga tentang semangat untuk terus “Sidho Ardjo”, berhasil dan makmur.