Portal Jatim

Jejak Otonomi Desa, Misteri dan Warisan Prasasti Cungrang di Era Mpu Sindok

Redaksi
33
×

Jejak Otonomi Desa, Misteri dan Warisan Prasasti Cungrang di Era Mpu Sindok

Sebarkan artikel ini

PASURUAN – Di kaki timur laut Gunung Penanggungan, tersembunyi sebuah saksi bisu kejayaan Kerajaan Medang: Prasasti Cungrang. Berlokasi di Dusun Sukci, Desa Bulusari, Kecamatan Gempol, prasasti ini bukan hanya monumen sejarah, tetapi juga simbol otonomi desa di era Mpu Sindok.

Berukuran 126 cm x 96 cm x 22 cm, prasasti ini berdiri kokoh di bawah pendopo sederhana yang dikelola masyarakat setempat.

Di sisi selatan prasasti, aksara Jawa Kuno sebagian besar telah memudar, namun bagian utaranya tetap terawat dengan baik. Lingga silindris yang ditemukan di dekatnya memperkuat nilai sakral prasasti ini, melambangkan batas wilayah suci pada masa Hindu-Buddha.

Prasasti Cungrang mencatat penetapan Desa Cungrang sebagai sima (daerah bebas pajak) atas perintah Mpu Sindok pada tahun 851 Saka (929 Masehi).

Desa ini diberi hak istimewa untuk merawat pertapaan, prasada, dan Petirtaan Pawitra. Larangan tegas terhadap pungutan pajak dan ancaman spiritual bagi pelanggar menjadikan Desa Cungrang otonom dalam perlindungan kerajaan.

Ironisnya, meskipun menjadi bagian penting dari sejarah Pasuruan dan dasar penetapan hari jadi kabupaten setiap 18 September, Prasasti Cungrang belum diakui resmi sebagai cagar budaya oleh pemerintah daerah.

Warisan Leluhur yang Terjaga
Ana Wijiastutik, juru pelihara prasasti, menegaskan bahwa masyarakat setempat memiliki komitmen kuat menjaga peninggalan leluhur ini.

“Prasasti ini adalah amanah leluhur kami. Tidak boleh dipindahkan atau diperjualbelikan. Kami akan terus merawatnya,” ujar Ana.

Masyarakat bahkan menolak berbagai tawaran dari pihak luar, termasuk pemerintah, untuk membeli prasasti tersebut. Mereka percaya bahwa prasasti ini memiliki hubungan spiritual dengan makam leluhur yang berada di sekitar lokasi.

Potensi yang Belum Tergarap
Prasasti Cungrang menjadi daya tarik bagi pelajar dan peneliti yang ingin memahami sejarah Kerajaan Medang. Namun, kurangnya perhatian pemerintah membuat potensinya belum tergarap maksimal.

Baca Juga:
Sebanyak 191 Sumur Dalam Terealisasi, Berkah Produktivitas Pertanian di Ponorogo

“Anak-anak sekolah sering datang ke sini untuk belajar, dan kami dengan senang hati menjelaskan sejarah prasasti ini. Tapi kami berharap pemerintah lebih peduli, terutama untuk menetapkannya sebagai cagar budaya,” tambah Ana.

Keberadaan prasasti ini tidak hanya menyimpan jejak sejarah, tetapi juga menjadi pengingat tentang pentingnya menjaga warisan budaya. Sudah saatnya pemerintah daerah bergerak untuk melindungi salah satu artefak berharga ini, sehingga generasi mendatang dapat terus belajar dari masa lalu.