YOGYAKARTA – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Yogyakarta merekomendasikan agar KPU Kota Yogyakarta menginstruksikan kepada jajaran bawahannya di PPS dan KPPS. Ini dimaksudkan untuk mengantisipasi di TPS yang dinilai rawan pada Pilwalkot 27 November 2024.
Koordinator Divisi Hukum Pencegahan Partisipasi Masyarakat dan Humas Bawaslu kota Yogyakarta, Siti Nurhayati menyampaikan penyelenggara Pilwalkot Yogyakarta juga hendaknya berkoordinasi dengan seluruh stakeholder, baik aparat penegak hukum maupun tokoh masyarakat setempat. “Ini untuk mencegah terhadap kerawanan yang berpotensi terjadi di TPS,” ujar Nurhayati, Rabu (20/11/2024).
Ia sebutkan gangguan di TPS bisa berupa soal netralitas, kampanye di hari pemungutan suara, potensi bencana, keterlambatan distribusi logistik, maupun gangguan listrik dan jaringan internet.
Untuk itulah pentingnya dilakukan distribusi logistik sampai ke TPS pada H-1 secara tepat (jumlah, sasaran, kualitas, waktu). Selain layanan pemungutan dan penghitungan suara sesuai ketentuan dan memprioritaskan kelompok rentan. Dengan mencatat data pemilih dan penggunaan hak pilih secara akurat.
Bawaslu Yogyakarta memetakan TPS rawan. Ini dimaksudkan mengantisipasi terjadinya gangguan dan hambatan pada pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara mendatang.
Disampaikan TPS rawan yang paling banyak terjadi dan tidak banyak terjadi namun perlu diantisipasi.
Nurhayati mengungkapkan pemetaan kerawanan tersebut dilakukan terhadap 8 variabel dan 28 indikator diambil dari 14 kecamatan dan 45 kelurahan di wilayah Kota Yogyakarta. Pemetaan TPS rawan dilakukan selama 6 hari mulai 10-15 November 2024.
Variabel dan indikator potensi TPS rawan sebagai berikut. Pertama, penggunaan hak pilih (DPT) yang tidak memenuhi syarat, DPTb, potensi DPK. Penyelenggara pemilihan di luar domisili, pemilih disabilitas terdatar di DPT. Riwayat sistem noken tidak sesuai ketentuan, dan/atau riwayat PSU/PSSU.
Kedua, keamanan (riwayat kekerasan, intimidasi dan/atau penolakan penyelengaraan pemungutan suara). Ketiga, politik uang. Keempat, politisasi SARA.
Kelima, netralitas (penyelenggara Pemilihan, ASN, TNI/Polri, kepala desa dan/atau perangkat desa).
Keenam, logistik (riwayat kerusakan, kekurangan/kelebihan, dan/atau keterlambatan). Ketujuh, lokasi TPS (sulit dijangkau, rawan konflik, rawan bencana, dekat dengan lembaga pendidikan/pabrik/pertambangan, dekat dengan rumah paslon/posko tim kampanye, dan/atau lokasi khusus).
Kedelapan, jaringan listrik dan internet. Hasilnya sebagai berikut:
1. 4 (empat) indikator potensi TPS rawan yang paling banyak terjadi:
a. Sebanyak 356 TPS terdapat pemilih disabilitas yang terdaftar di DPT;
b. Sebanyak 278 TPS terdapat Penyelenggara (KPPS dan PTPS) yang merupakan pemilih di luar domisili TPS tempatnya bertugas;
c. Sebanyak 218 TPS terdapat pemilih DPT yang sudah tidak memenuhi syarat (meninggal
dunia, alih status menjadi TNI/Polri); dan d. Sebanyak 205 TPS terdapat pemilih pindahan.
2. 1 (satu) indikator TPS Rawan yang banyak terjadi: Sebanyak 111 TPS terdapat potensi pemilih memenuhi syarat namun tidak terdaftar di DPT (potensi pemilih tambah.
3. 14 (empat belas) indikator TPS rawan yang tidak banyak terjadi:
a. Sebanyak 30 TPS terdapat dekat lembaga pendidikan yang siswanya berpotensi memiliki hak pilih;
b. Sebanyak 23 TPS terdapat berada di dekat rumah pasangan calon dan/atau posko tim kampanye pasangan calon;
c. Sebanyak 17 TPS terdapat memiliki riwayat kekurangan atau kelebihan dan bahkan tidak tersedia logistik pemungutan dan penghitungan suara pada saat pemilu;
d. Sebanyak 14 TPS terdapat memiliki riwayat logistik pemungutan dan penghitungan suara mengalami kerusakan di TPS pada saat pemilu;
e. Sebanyak 8 TPS yang terdapat kendala jaringan internet di lokasi TPS;
f. Sebanyak 7 TPS yang didirikan di wilayah rawan konflik;
g. Sebanyak 5 TPS yang terdapat petugas KPPS berkampanye untuk pasangan calon;
h. Sebanyak 5 TPS terdapat riwayat Pemungutan Suara Ulang (PSU) dan/atau Penghitungan Surat Suara Ulang (PSSU);
i. Sebanyak 3 TPS yang didirikan di wilayah rawan bencana (contoh: banjir, tanah longsor, gempa,dll);
j. Sebanyak 3 TPS sulit dijangkau (geografis dan cuaca);
k. Sebanyak 2 TPS di lokasi khusus.
l. Sebanyak 2 TPS yang memiliki riwayat terjadi kekerasan di TPS;
m. Sebanyak 2 TPS yang memiliki riwayat terjadi intimidasi kepada penyelenggara;
n. Sebanyak 1 TPS terdapat riwayat praktik pemberian uang atau materi lainnya yang tidak sesuai ketentuan pada masa kampanye di sekitar lokasi TPS.
Strategi Pencegahan
Pemetaan TPS rawan ini menjadi bahan bagi Bawaslu Kota Yogyakarta dan KPU, peserta pemilu, pasangan calon, pemerintah, aparat penegak hukum, pemantau pemilihan, media dan seluruh masyarakat di wilayah Kota Yogyakarta.
Untuk mereka memitigasi agar pemungutan suara lancar tanpa gangguan yang menghambat
pemilihan yang demokratis.
Terhadap data TPS rawan di atas, Bawaslu Kota Yogyakarta melakukan strategi pencegahan.
Di antaranya patroli pengawasan di wilayah TPS rawan. Koordinasi dan konsolidasi kepada pemangku kepentingan terkait. Sosialisasi dan pendidikan politik kepada masyarakat. Kolaborasi dengan pemantau pemilihan, pegiat kepemilaun, organisasi masyarakat dan pengawas partisipatif.
Juga menyediakan posko pengaduan masyarakat di setiap level yang bisa diakses masyarakat, baik secara offline maupun online.
Bawaslu juga mengawasi langsung untuk memastikan ketersediaan logistik pemilihan di TPS, pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara sesuai ketentuan, serta akurasi data pemilih dan penggunaan hak pilih. (bams)