PONOROGO – Ratusan sopir truk angkutan melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung DPRD Ponorogo.
Pun, pihak legislatif dari Komisi C melakukan rapat dengar pendapatan (RDP) dengan perwakilan sopir dari Gabungan Komunitas Sopir Bersatu Ponorogo.
Tak hanya itu, para sopir juga membawa truk nya masing-masing dan memenuhi sepanjang titik jalan di Ponorogo. Serta, membentangkan sejumlah banner dan spanduk di samping bak truk.
Diantaranya bertuliskan ‘Harga Tilang Lebih Mahal dari Ongkos Kirim’, ‘Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit’, ‘Korupsi Dipelihara Odol Dipenjara’, ‘Kami Sopir Bekerja Bukan Kriminal, Jangan Bicara Pasal Pada Rakyat yang Lapar’ dan sebagainya.
Diantaranya revisi undang undang (UU) Lalu lintas angkutan jalan (LLAJ) no 22 tahun 2029.
Adapun tuntutan para unjuk rasa diantaranya, revisi undang undang (UU) Lalu lintas angkutan jalan (LLAJ) no 22 tahun 2029, regulasi mengenai ongkos angkutan logistik. Perlindungan dan kesetaraan serta perlakuan hukum bagi sopir truk. Selain itu juga meminta memberantas pungutan liar (pungli) dan premanisme.
“Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) yang dianggap memberatkan sopir. Juga menuntut perlindungan dari praktik pungli,” ujar perwakilan sopir aksi damai, Sakri, Kamis (19/6/2025).
Dengan diterimanya para sopir untuk duduk bersama ini, pihaknya ingin agar DPRD Ponorogo dapat menyalurkan keluhan ini ke DPR RI hingga Pemerintah Pusat.
“Kita resah soal adanya rencana penerapan larangan operasional truk over dimension over loading (ODOL) tanpa solusi yang realistis,” bebernya.
Sopir itu sebetulnya tidak ada masalah jika truk disuruh membawa barang itu tidak overload atau over dimensi, asalkan regulasi jelas.
“Namun karena keadaan yang memaksa, misal ketika kita membawa angkutan beras jika tidak overload itu sekitar 6 ton, namun ongkosan (jasa angkut tonase) itu tidak cukup untuk operasional,” urainya.
Sementara itu, Ketua DPRD Ponorogo, Dwi Agus Dwi Prayitno mengatakan, para sopir menyampaikan aspirasi yang kaitannya dengan UU nomor 22 tahun 2009 LLAJ.
“Jika para sopir memenuhi UU tersebut dan ditindaklanjuti dengan peraturan menteri, kaitannya dengan kapasitas maupun muatan, para sopir keberatan,” terangnya.
Legislatif tetap akan menindaklanjuti keluhan sopir ini ke para pemangku kebijakan nantinya. Karena gerakan ini memang secara masif, artinya tidak hanya terjadi di Ponorogo saja.
“Kita ikut prihatin, karena memang pada kenyataannya, sopir membawa truk jika tidak overload, ya tidak untung. Maka dari itu, aspirasi ini nanti kita sampaikan ke DPR RI maupun Pemerintah Pusat, agar bagaimana ada solusi yang baik,” tandasnya. (*)