KOTA MALANG – Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Optimalisasi Kinerja Lembaga Penegak Hukum Melalui Pembaharuan Hukum Acara Pidana”, menghadirkan Prof. Dr. Tongat, S.H., M.Hum sebagai narasumber utama. Kegiatan akademik ini digelar di lantai 8 Gedung GKB IV Universitas Muhammadiyah Malang dan dihadiri berbagai elemen akademisi serta praktisi hukum, Sabtu (26/04/2025).
Dalam pemaparannya, Prof. Tongat yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum UMM menegaskan pentingnya pembaruan hukum acara pidana sebagaimana tercantum dalam Konsiderans Bagian Menimbang Huruf C Rancangan KUHAP (versi 3 Maret 2025).
“Pembaruan tersebut untuk lebih menjamin hak-hak tersangka, terdakwa, terpidana, saksi, dan korban, sekaligus memperkuat fungsi serta wewenang aparat penegak hukum agar selaras dengan dinamika ketatanegaraan, perkembangan teknologi informasi, dan konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia,” ungkap Prof. Tongat.
Dalam konteks pembaruan hukum, Prof. Tongat menekankan bahwa Asas Diferensiasi Fungsional dalam sistem peradilan pidana sangat penting, dengan tiga dimensi utama.
“Pembagian kerja berdasarkan fungsi spesifik dalam sistem yang lebih besar, hubungan fungsional antar elemen yang bekerja secara terpisah namun saling bergantung untuk mencapai tujuan bersama, serta distribusi tugas antar lembaga atau unit guna memaksimalkan efisiensi dan efektivitas.”
Lebih lanjut, diferensiasi wewenang dinilai krusial agar setiap aparat penegak hukum memahami ruang lingkup serta batas-batas tugasnya. Hal ini bertujuan mencegah tumpang tindih pelaksanaan kewenangan sekaligus menghindari potensi vacuum of responsibility. Pandangan ini sejalan dengan pertimbangan Putusan MK No. 28/PUU-V/2007 yang menekankan pentingnya harmonisasi dan keterpaduan fungsi antar aparat hukum.
Dalam FGD tersebut, Prof. Tongat turut menyoroti konsep “Polisi Justisi” sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 ayat (1) Herzien Inlandsch Reglement (HIR). Polisi justisi merupakan bentuk kerja represif kepolisian dalam membantu tugas kehakiman, meliputi penyidikan, penangkapan, penahanan, pemeriksaan, penggeledahan, pembuatan berita acara, hingga penuntutan pidana dan pelaksanaan putusan hakim.
“Konsep ini menegaskan keterlibatan kepolisian sebagai bagian penting dalam proses penegakan hukum secara prosedural,” tegas Prof. Tongat.
Mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 1 RKUHAP, Prof. Tongat menyimpulkan bahwa RKUHAP telah melakukan modifikasi terhadap Asas Diferensiasi Fungsional dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP). Salah satu bentuk modifikasi tersebut tercermin dalam Pasal 8 ayat (1) RKUHAP versi 21 Maret 2023, yang menyatakan bahwa dalam melakukan penyidikan, penyidik harus berkoordinasi dengan penuntut umum.
Menurutnya, koordinasi yang terlalu dalam berpotensi menjadi bentuk intervensi kejaksaan terhadap proses penyidikan kepolisian. Di sisi lain, hal ini juga dapat mengurangi independensi dan kewenangan penyidik sebagai organ yang seharusnya menjalankan fungsi penyelidikan dan penyidikan secara otonom.
Dalam sesi akhir diskusi, Prof. Tongat turut menyinggung pentingnya pengawasan horizontal antar lembaga penegak hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP.
Ia menegaskan bahwa, sesuai KUHAP saat ini, tidak ada kewenangan langsung bagi kejaksaan untuk ikut serta dalam proses pemeriksaan. Hubungan antar kedua institusi dibatasi sebatas koordinasi fungsional semata.
“Ketidakjelasan batas kewenangan seperti ini bisa memicu ketidakpastian hukum dan membuka ruang akumulasi kekuasaan dalam satu tangan. Seperti kata Lord Acton: power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely,” tambahnya.
Melalui forum ini, Prof. Tongat mengajak seluruh pihak untuk mengawal pembaruan hukum acara pidana secara kritis dan konstruktif, menjaga asas diferensiasi fungsional, memperkuat pengawasan antar lembaga penegak hukum, serta memastikan tidak ada dominasi institusi tertentu yang dapat mengancam independensi proses peradilan.
(Junaedi)