Portal DIY

Peluncuran Buku GKBRAA Paku Alam : Budaya Itu Menjaga Hati

Portal Indonesia
149
×

Peluncuran Buku GKBRAA Paku Alam : Budaya Itu Menjaga Hati

Sebarkan artikel ini
Peragaan kain batik yang motifnya diambil dari naskah kuno Asta Brata yang ada di Puro Pakualaman Yogyakarta (Ist)

YOGYAKARTA – Budaya itu seperti hati. Bagaimana memelihara budaya, sama halnya memenuhi hati dengan cinta.

“Mewarisi dan melestarikan budaya merupakan wujud dari cinta itu sendiri. Sehingga ketika seseorang memelihara budaya, ia akan memelihara cinta yang terpupuk di dalamnya. Alasannya,  cinta itu tumbuh dan besar dalam budaya tersebut,” ujar GKBRAA Paku Alam  dalam peluncuran buku “Batik Pakualaman– Antara Tradisi, Sastra dan Wastra” di Gedung Kepatihan Pakualaman, Yogyakarta, Kamis (4/7/2024). Buku tersebut ditulis oleh GKBRAA Paku Alam, KMT Widya Hadiprojo dan Nyi MT Sestrorukmi. Diterbitkan Penerbit Kanisius, buku ini mengulas soal tradisi, sastra dan wastra (pakaian tradisional) yang diangkat dari nilai-nilai luhur Kadipaten Pakualaman dengan menggunakan media batik.

Dalam sambutannya yang termuat dalam buku tersebut, KGPAA Paku Alam X mengatakan bahwa batik Pakualaman dan buku yang diluncurkan terkait dengan pemeliharaan warisan budaya. Dan itu, tidak lepas dari pidatonya pada 7 Januari 2016 dalam posisinya sebagai pengemban kebudayaan. Dan batik Pakualaman memiliki kekhususan yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah. Sekalipun termasuk dalam tradisi batik gagrag (model) Yogyakarta, Batik Pakualaman menjadi khas karena pernah bersentuhan dengan gagrag Surakarta. Sejak 2011, Batik Pakualaman mendapat pengayaan karena motif-motif baru yang bersumber dari naskah-naskah kuno koleksi Perpustakaan Widyapustaka Kadipaten Pakualaman.

Dalam launching buku tersebut, ditampilkan tarian Tyas Muncar (hati yang cerah memancar) yang diciptakan oleh KGPAA Paku Alam X. Tarian ini akhirnya menjadi nama dari Rumah Batik Tyas Muncar di Pakualaman. Rumah Batik Tyas Muncar dimaksudkan menjelaskan pancaran hati remaja puteri saat proses membatik

Menurut  GKBRAA Paku Alam, buku ini sudah lama menjadi angan-angannya. Hanya saja, buku ini terhambat beberapa kendala termasuk karena pandemi Covid. Sehingga dalam komunikasi di antara ketiga penulis dan juga tim pendukung agak sulit. Belum lagi, dijelaskan lebih lanjut,  buku ini didukung oleh tim kerja yang terdiri dari tim batik dan tim naskah.

Baca Juga:
Bawaslu Yogyakarta Pastikan Tak Terjadi Pelanggaran pada Pemungutan Suara

“Saya, Bu Sakti dan Pak Dibyo harus kerja keras untuk menyelesaikan buku ini. Dan, proses buku dan mewujudkan batik harus sinkron. Semuanya berawal dari pembacaan naskah dari kitab Asta Brata, yang ada di perpustakaan Kadipaten Pakualaman. Kitab Asta Brata itu  berisi nilai-nilai luhur yang terkait dengan kepemimpinan,“ ujar GKBRAA Paku Alam. Yang dimaksud dengan „Bu Sakti“ adalah Dr Sri Ratna Saktimulya yang dalam buku tertulis nama Nyi.M.T.Sestrorumi. Sementara yang disebut „Pak Dibyo“ adalah Sudibyo yang dalam buku tertulis K.M.T.Widyo Hadiprojo.

Dirinya, kisah permaisuri Paku Alam X ini, sangat mencintai batik. Dan, itu tumbuh dari eyang (kakek-red) yang tinggal di Batang-Pekalongan. Eyang dunianya adalah batik dan dirinya dibesarkan dalam lingkungan itu termasuk juga ikut belajar membatik. Setelah diambil menantu oleh KGPAA Paku Alam IX, dirinya melihat ada bangsal batikan di Pakualaman. Akhirnya, dirinya diijinkan untuk menggunakan bangsal batikan.  Dan dari situlah, GKBRAA Paku Alam  itu mulai secara serius melihat naskah-naskah kuno di Puro Pakualaman.

“Sungguh luar biasa. Saya langsung jatuh cinta dengan naskah-naskah luhur yang ada di Puro. Saya langsung jatuh cinta, dari mata menuju hati. Saya melihat nilai-nilai luhur yang ada dalam Astabrata itu secara filosofi sangat berguna untuk masyarakat. Dari situlah kemudian, saya memulai mewujudkan nilai-nilai Astabrata melalui media batik yang motifnya berasal dari Astabrata itu juga,” jelasnya.

GKBRAA Paku Alam mengaku merinding ketika pertama kali memulai memilih naskah yang akan dituangkan dalam media batik. Semua ditulis dan digambar dengan tangan. Oleh karenanya,  nilai luhur yang terkandung dalam naskah-naskah kuno tesebut juga diperkuat dengan tulisan dan gambar. Ditulis dengan tangan. Sehingga nilai luhur itu sangat kuat dan sangat filosofis.

Baca Juga:
Status Gunung Merapi Diperpanjang, Pemkab Sleman Terapkan Simulasi Mitigasi Bencana

Diurai lebih lanjut, dirinya sangat fokus dengan ide batik dari naskah kuno di tengah-tengah kegiatannya yang padat.  Sehingga dalam pelaksanaannya, selain juga terjun membatik, dirinya juga dibantu oleh tim pustaka dan tim batik. Menghadapi naskah yang telah berusia 200 tahun menuntut keseriusan, tidak main-main dan juga membutuhkan cinta untuk melestarikannya.

“Saya teringat dengan tagline dari KGPAA Paku Alam X saat penobatan yakni pengembang kebudayaan. Tagline inilah yang kemudian menjadi roh dalam pelestarian budaya. Yang pertama adalah, pelestarian naskah kuno dan kedua adalah batik sebagai budaya Indonesia,” pungkas GKBRAA Paku Alam. (bams)