Berita

Misteri Kerajaan Kurri-Kurri dan Jejak Tari Pattu’du yang Hampir Terlupakan

Redaksi
×

Misteri Kerajaan Kurri-Kurri dan Jejak Tari Pattu’du yang Hampir Terlupakan

Sebarkan artikel ini

MAMUJU – Mengingat kembali sejarah yang tersimpan dalam tanah Simboro kawasan yang kini menjadi pelabuhan feri Mamuju masyarakat masih menyebut-nyebut nama Kerajaan Kurri-Kurri, sebuah kerajaan yang diyakini berdiri pada abad ke-16 hingga ke-17 Masehi. Meski waktu telah berlalu ratusan tahun, ingatan akan kerajaan ini belum pudar, namun jejak fisik dan garis keturunan para rajanya masih menjadi misteri hingga kini.

Masyarakat Mamuju, terutama yang bermukim di Simboro, terus mencoba menguak keberadaan kerajaan ini. Nama Kurri-Kurri kerap muncul dalam berbagai ritual adat, seperti peringatan Hari Jadi Mamuju maupun Massossor Manurung, di mana nilai-nilai leluhur diangkat dan dihormati. Meski demikian, kerajaan tersebut tak lagi terlihat wujudnya, dan keturunan resminya pun tak pernah diketahui secara pasti.

Lebih dari sekadar cerita, kerajaan Kurri-Kurri juga meninggalkan warisan budaya berupa tari sakral yang kini nyaris punah, yakni Tari Pattu’du. Tarian ini dipercaya sebagai tarian penyambutan kerajaan, khususnya untuk tamu agung atau raja dari kerajaan lain seperti Gowa dan Bone yang berkunjung ke Simboro.

Tari Pattu’du lahir seiring eksistensi Kerajaan Kurri-Kurri pada abad ke-16/17, berakar dari pasangan kembar keturunan Tometingkudu Gassa Rangas dan Tomaballa’ Pala’ Bitti’na. Konon, kisah tentang Kurri-Kurri Managallang Dungkait yang dibawa oleh Baligau dan Bulo Malalang Tampalang menjadi bagian penting dari sejarah kerajaan ini. Ketika kekuatan senjata tak bisa menaklukkan, maka dilakukanlah ikatan melalui kawin-mawin sebagai jalan damai. Kisah ini bahkan tercatat dalam catatan hubungan antara kerajaan besar seperti Gowa, Tallo, Bone, dan Mamuju.

Sebuah sumpah suci (Mattaroada’) pun diikrarkan, yang menyatukan kehormatan dan persahabatan antar kerajaan. Sumpah ini berbunyi:

Itanimating nge’balibi paccinna Bone tattapae risimboro bela, bela ada na tongngi ulu ada’ nabarakka nasaurekangngi ridewata…

Baca Juga:
BREAKING NEWS: Warga Geger, Pria Tanpa Identitas Ditemukan Tewas di Masjid Desa Botteng

Disertai teriakan serempak yang menggema:

Hoe pakanna….. hoeeee
Hoee bellla….. hoooeeee
Hoee rangang….. hoee

Pada masa keemasannya, Tari Pattu’du dimainkan oleh 12 penari laki-laki yang mengenakan pakaian khas berwarna hitam, dilengkapi perisai dan tombak. Sebagian mengenakan ikat kepala runcing, sementara lainnya bertelanjang dada namun dihiasi kalung dan gelang emas sebagai simbol kejayaan dan keberanian.

Tari ini bukan tarian biasa. Hanya warga asli Simboro yang tinggal di Simboro yang berhak membawakannya. Ini menjadikan Tari Pattu’du bukan sekadar seni pertunjukan, melainkan warisan sakral dan identitas kultural yang dijaga secara turun-temurun.

Pada tahun 1960, tarian ini masih sempat dipimpin oleh Balamang, nenek dari Muh. Fajrin, yang dikenal sebagai salah satu penari Pattu’du Keke Muane versi khas dari tarian tersebut.

Syair Pattu’du Keke Muane: Jejak Sastra Lisan yang Menggetarkan

Sebagai bagian dari pertunjukan adat, Tari Pattu’du juga diiringi syair sakral, salah satunya berbunyi:

Itangi mattingngi balibi paccinna Bone tatta
Tattappae risimboro bela ada kutattingngi, ulu ada’ kubarakkakusa
Kusandrekang ridewata bela duanna gimatti arolaku rimamuju mondro
Mondro ritana Simboro bela baru lakku’ leja, nasa’bukanna topa, topate.
Hoee bella…
Hoe rangang…

Syair ini menggambarkan keberanian, kesucian sumpah, dan hubungan spiritual antara tanah Simboro dan para leluhurnya.

Kini, Tari Pattu’du berada di ambang kepunahan. Seiring minimnya pewarisan budaya dan perubahan zaman, sedikit sekali generasi muda yang mengenal sejarah ini. Padahal, Kerajaan Kurri-Kurri dan Tari Pattu’du adalah dua sisi dari satu identitas: jati diri masyarakat Simboro.

Pertanyaannya tetap menggantung:
Benarkah Kerajaan Kurri-Kurri pernah ada? Dan siapakah para keturunannya kini?

Namun satu hal yang pasti:
Selama budaya dan ingatan masih dijaga, sejarah tak akan pernah benar-benar hilang.