Nasional

Menjelang Pemilu 2024, Ketum PBNU : NU Tidak Terlibat Dalam Politik Praktis

7
×

Menjelang Pemilu 2024, Ketum PBNU : NU Tidak Terlibat Dalam Politik Praktis

Sebarkan artikel ini
Menjelang Pemilu 2024, Ketum PBNU : NU Tidak Terlibat Dalam Politik Praktis

JAKARTA – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf atau yang akrab disapa Gus Yahya menyatakan partainya tidak terlibat politik praktis menjelang pemilu 2024.

Hal itu disampaikannya usai melaksanakan acara Ngopi Bareng Gus Yahya bersama Redaksi Media Nasional dan Koresponden Asing di Plaza PBNU, Jakarta Pusat, Rabu (1/2/2023).

Keputusan NU untuk tidak terlibat dalam politik praktis merupakan hasil Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984.

“Keputusan Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo saat itu menyebutkan NU memisahkan diri dari politik praktis,” ujar Gus Yahya

“Artinya sebagai organisasi secara kelembagaan tidak bisa terlibat dalam politik praktis,” lanjutnya.

Gus Yahya kemudian menyinggung pengertian politik praktis pada masa Orde Baru, yang diartikan sebagai politik kekuasaan.

Atas dasar itulah NU akhirnya memutuskan untuk tidak terlibat dalam berbagai kontestasi politik dalam bentuk apapun, terutama pemilu.

Kendati demikian, kata dia, NU harus tetap hadir untuk mengaspirasi suara rakyat.

“Bila ada hal-hal yang merupakan aspirasi yang harus disampaikan kepada struktur politik pemerintah, DPR atau lainnya, maka NU akan melakukannya melalui jalur yang tidak berdampak memposisikan NU sebagai benteng pertahanan. kekuasaan,” kata Gus Yahya.

Di sisi lain, lanjutnya, jika NU membuat artikulasi publik tentang politik, maka itu semata-mata bertujuan ketuhanan untuk pendidikan.

“Tidak boleh menekan partai manapun, tidak boleh. Karena NU bukan partai. Dalam hal ini,” kata Gus Yahya.

Mengutip artikel berjudul Memahami Khittah Dasar NU Secara Jelas Hasil Musyawarah Situbondo dan Upaya “Mengarahkan Narasi” yang ditulis oleh KH. Imam Jazuli, Lc, menyatakan bahwa rumusan Khittah NU hasil Keputusan Musyawarah XXVII Nomor 02/MNU-NU/1984 sebenarnya sangat “strategis”, kalau tidak salah paham.

Warga Nahdliyyin mendapat arahan politik praktis dari para pendahulunya.

Keputusan Muktamar ke-27 tahun 1984 memberikan subbab khusus tentang politik dan kehidupan bernegara.

Dalam keterangannya dikatakan bahwa NU secara sadar mengambil “posisi aktif” dalam proses perjuangan mencapai dan memperjuangkan kemerdekaan, serta “berpartisipasi aktif” dalam penyusunan UUD 1945. Konstitusi.

Keberadaan NU selalu “menyatukan” dengan perjuangan bangsa, menempatkan NU dan warganya “selalu aktif” berkiprah dalam “nation building ” menuju masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT (Khittah NU dan Khidmah Nahdlatul Ulama, Pati : Majma’ Buhuts An-Nahdliyah, 2014: 48-49).

NU memiliki banyak fungsi. NU dalam memperjuangkan kemakmuran masyarakat dan menegakkan keadilan adalah NU yang menjalankan fungsinya sebagai organisasi kemasyarakatan.

NU juga memiliki fungsi keagamaan yang mengusung prinsip persaudaraan, toleransi, kebersamaan, dan berdampingan dengan warga negara lain yang berbeda keyakinan.

NU juga memiliki fungsi pendidikan yang bertujuan menyadarkan warga negara akan hak dan kewajibannya terhadap bangsa dan negara (hlm. 49).

Fungsinya banyak, dan satu fungsi tidak boleh meninggalkan fungsi lainnya, terutama fungsi politik.

Artinya, NU bisa mewujud dalam banyak hal yang bersifat fungsional. Ketika NU menjalankan fungsinya sebagai ormas keagamaan, berbeda dengan ketika menjalankan fungsi sosial atau pendidikan.

Ketiga fungsi tersebut (agama, sosial, pendidikan) merupakan satu kesatuan sistem yang dibangun di dalam NU.

Jika kita tidak memahami bahwa ketiga fungsi ini berbeda, meskipun saling mendukung, kita juga akan gagal memahami fungsi NU yang paling sensitif, yaitu: fungsi politik.

Fungsi politik NU berbeda dengan tiga fungsi sebelumnya. Dikatakan bahwa NU sebagai Jam’iyyah secara organisatoris berdiri sendiri dari organisasi politik dan organisasi sosial manapun (hal. 49).

Jelas bahwa NU tidak mau mengikatkan diri pada partai politik manapun “saat itu” seperti PPP, Golkar, dan PDI. Bahkan, saat ini NU juga tidak bisa berafiliasi dengan ketiga parpol tersebut.

Pengalaman memisahkan diri dari partai mana pun pada 1984 bisa dipahami sebagai puncak kekalahan NU di panggung pertarungan politik perebutan kekuasaan.

Tahun 1984 adalah tahun yang paling terluka, paling menyakitkan, dan paling menyedihkan bagi NU.

Untuk menjaga eksistensi dan integritasnya, NU memilih strategi opt out dari partai politik manapun, untuk istirahat sejenak.

Karena sebelumnya benar-benar dibuat seperti bola pingpong, baik oleh Partai Masyumi pada tahun 1952 maupun oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 1982.