Portal DIY

Membumikan Moderasi Beragama

7
×

Membumikan Moderasi Beragama

Sebarkan artikel ini
Membumikan Moderasi Beragama
Para guru peserta pembinaan (Ist)

SLEMAN – Penyelenggara Katolik Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sleman membina peningkatan kompetensi guru  pendidikan agama Katolik tingkat menengah di wilayahnya. Acara dilangsungkan di Java  Village, Jlamprang,  Pandowoharjo,  Sleman pada Selasa (21/6/2022).

Para guru diajak mengetahui, mendalami dan menerapkan moderasi beragama dalam konteks pendidikan agama Katolik. Tiga narasumber dihadirkan, masing-masing FX. Dapiyanta SAg. MPd (Dosen Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan  Agama  Katolik  [IPPAK  USD]), Dr. FA. Purwanto   SCJ (Dosen Fakultas Teologi Universitas  Sanata Dharma),  Dr. Lukas S. Ispandriarno (Dosen Ilmu Sosial Politik Universitas Atmajaya Yogyakarta).

CB. Ismulyadi,  S.S, M.Hum, selaku panitia penyelenggara mengatakan kegiatan   ini  menjadi bagian  dari  penguatan moderasi  beragama  (PMB), agenda  yang  terus  menerus dilakukan.

Setelah menyadari  dan  memahami  materi   tentang  moderasi  beragama  dalam  perspektif Gereja Katolik  (Dr. M.Joko Lelono, Pr.,  Komisi HAK Kevikepan Jogja Timur dan Dosen  Kajian Agama  dan  Dialog, Fakultas Teologi,  Universitas Sanata Dharma), moderasi beragama dalam perspektif pendidikan keagamaan (Listia Suprobo, SAg.MHum.,  pegiat  dan  pemerhati  pendidikan  di Perkumpulan  Pendidik Interreligius/Pappirus), dan tentang  pendidikan keagamaan di lingkup Pemkab  Sleman (Dr. Sri Prihartini Yulia.  M.Hum,  Pengawas  Sekolah   Madya  Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman) peserta diajak meningkatkan peran dan kompetensi.

Menurut Ismulyadi pada  dasarnya  proses  belajar-mengajar dan  hasil  belajar peserta  didik sebagian besar ditentukan  peranan dan  kompetensi guru.

Artinya, guru yang kompeten akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan lebih mampu mengelola  kelasnya. Sehingga  hasil  belajar  peserta  didik  berada  pada  tingkat optimal.

Para guru pendidikan agama Katolik disebutnya menjadi  bagian  dari   pengembang amanah  tersebut. “Kita  mempunyai  kesempatan  membuat  gerakan sebagai wujud  pembumian  moderasi  beragama  melalui  pembelajaran   dan  pengalaman hidup di sekolah,” jelasnya.

Membumikan Moderasi Beragama

Dalam materi Implementasi Moderasi Beragama dalam Pendidikan Agama Katolik,FX.  Dapiyanta  menyampaikan  klaim  absolut  terkait   kebenaran  agama;  antara klaim kebenaran absolut dan subjektivitas antara interpretasi literal dan penolakan yang   arogan   atas  ajaran  agama.Juga  antara  radikalisme  dan  sekularisme.

Komitmen   utama  moderasi  beragama  terhadap  toleransi  menjadikannya  sebagai cara  terbaik  menghadapiradikalisme  agama   yang  mengancam  kehidupan beragama   itu  sendiri. Dan   dapat  mengimbas   pada  kehidupan  persatuan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Inti dari konteks moderasi beragama terkait dengan menjaga kemurnian atau mengikuti perkembangan zaman, menjaga kemurnian  kebenaran  absolut,  literal   tekstual,  (radikal),  mengikuti  perkembangan zaman: subjektivitas, sekularisme, liberal.

“Moderasi  menjadi jalan tengah, menjaga kemurnian sekaligus mengikuti perkembangan zaman.  Dialog menjadi cara efektif  membumikan  moderasi   di  lingkungan  masyarakat  warga,”  ujar    FX.Dapiyanta.

Di  akhir  sesi,   FX.  Dapiyanta mengajak
para  guru   membuat program sebagai aksi dari para guru pendidikan agama Katolik.

Dalam   paparan  tentang  Guru  Pendidikan   Agama  Katolik   di  tengah  Budaya Multikultur, Romo F. Purwanto, SCJ mengungkapkan situasi kini berada dalam  peralihan  dari   monokultur  menjadi  multikultur.  Multikultur  membawa  efek beragam. Moderasi menjadi jalan tengah dalam arus kebangsaan.

“Kita gagap ketika menghadapi  dunia  digital   dan  budaya  berubah  dengan  sangat  cepat,” aku Romo Purwanto. Termasuk, lanjutnya, dalam  model  beragama  di   dunia   maya;  tekstualis:  memahami,  menafsirkan   dan menjalankan agama sesuai bunyi harfiyah nash-teks sumber ajaran agama dengan tanpa membuka celah penafsiran yang terkait erat dengan semangat zaman serta   kesejarahan.  Liberal:  cenderung  menjauh   dari  naskah-teks,  bersikap   lebih longgar, serta mengikuti perilaku dan pemikiran dari budaya dan peradaban lain, budaya Barat.

Romo Purwanto menyebutkan pandangan beberapa tokoh terkait moderasi beragama. “Aburrahman Wahid mengatakan, moderasi harus senantiasa mendorong upaya untuk mewujudkan keadilan sosial al-maslahah al-‘ammah.”

Sedangkan AbouEl-Fadh, kata Romo Purwanto menyebut moderasi  beragama   adalah  beragama  yang  cocok   untuk setiap tempat dan zaman, bersifat dinamis dan menghargai tradisi-tradisi masa silam sambil  direaktualisasikan  dalam konteks kekinian.

Gereja   Katolik  menyebutkan Nostra  Aetate  (Terang  Bangsa-Bangsa,  artikel   1)   sebagai  dasar   pijak  moderasi beragama.  “Jika  kita   bicara tentang  pendidikan   agama  Katolik  di   tengah  budaya multikultur, maka kita perlu  mengembangkan sikap-sikap untuk tidak egois (terlalu memaksakan  kebenaran   pribadi),  tidak  berprasangka  buruk  terkait  perbedaan-perbedaan yang ada supaya hidup persaudaraan dapat tercapai,” ujarnya.

Sementara Dr. Lukas S. Ispandriarno menyampaikan materi  Guru Pendidikan Agama  Katolik dan  Konsep  Berpolitik.

Menurutnya  politik  dalam pengertian
lebih luas merupakan  aktivitas membuat, melestarikan,  dan mengubah aturan-aturan  umum dalam  kehidupan.

“Pemahaman  ini  menunjukkan, kita  memiliki kemampuan mengubah   situasi  sekitar  kita,
misalnya  sekolah,  rukun tetangga,
pemerintahan. Dengan demikian, politik tidak selalu terkait dengan pemilihan kepala negara dan atau  kepala  daerah,”
ujarnya.

Dalam   sesi   ini,  para guru  berdialog  secara   aktif  dengan narasumber  terkait  pencanangan Tahun  Toleransi 2022   dan  penerapannya   di tataran  sekolah  dan  masyarakat.

“Moderasi  Beragama  dalam  Pendidikan  Agama Katolik   dapat  diterapkan   dengan  mengacu  pada  diskusi   dimana  anak  dapat saling berbagi, mendengarkan dan menghargai pandangan temannya  dalam suasana  kekeluargaan, persahabatan, dan keakraban.

“Hal terpenting dalam komunikasi iman  adalah  menciptakan  suasana bebas  dari  ketakutan  pada anak,” pungkas Lukas. (bams)