SITUBONDO – Banjir yang melanda wilayah Kendit, Situbondo, pada Selasa (24/12) menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat Kecamatan kendit Situbondo.
Banjir ini bersumber dari dua daerah utama, yakni Tambak Ukir dan Rajekwesi, yang diketahui berada di kawasan hutan lindung yang telah beralih fungsi menjadi lahan pertanian.
Ketua Umum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Cahaya Keadilan Rakyat (CAKRA), Lutfi, S.H., angkat bicara mengenai kejadian ini. Ia menyoroti lemahnya pengawasan KPH Bondowoso dan Instansi terkait serta gagalnya Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) yang menelan anggaran Negara hingga miliaran rupiah.
“Alih fungsi hutan lindung menjadi lahan pertanian adalah penyebab utama banjir di Kendit. Sayangnya, ini dibiarkan oleh Perhutani ADM Bondowoso tanpa tindakan tegas. Selain itu, program RHL yang seharusnya menjadi solusi justru gagal karena pelaksanaannya tidak sesuai harapan,” tegas Lutfi.
Lebih lanjut, Lutfi mengungkap adanya dugaan manipulasi laporan oleh petugas survei yang bertanggung jawab atas proyek RHL. “Kami menduga laporan yang disampaikan ke instansi terkait tidak sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. Akibatnya, rehabilitasi hutan tidak efektif, dan masyarakat menjadi korban,” tambahnya.
Banjir ini juga memunculkan kekhawatiran akan semakin rusaknya ekosistem di kawasan hutan lindung Situbondo. Lutfi meminta pemerintah daerah dan pihak berwenang untuk segera mengambil langkah konkret dalam menangani persoalan ini.
Ketua Umum Lembaga Bantuan Hukum Cahaya Keadilan Rakyat (LBH CAKRA), Lutfi, S.H., menyatakan pihaknya akan segera mengambil langkah resmi terkait banjir yang melanda wilayah Kendit, Situbondo.
Lutfi menegaskan, LBH CAKRA akan bersurat kepada Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Brantas di Sidoarjo dan Kementerian Lingkungan Hidup untuk meminta perhatian serius atas permasalahan alih fungsi hutan lindung di daerah tersebut.
“Kami melihat adanya kelalaian dalam pengawasan kawasan hutan lindung, khususnya di Tambak Ukir dan Rajekwesi. Alih fungsi hutan ini berdampak langsung pada bencana banjir yang merugikan masyarakat. Oleh karena itu, kami akan bersurat kepada BPDAS Brantas dan Kementerian Lingkungan Hidup untuk menuntut penanganan serius dan evaluasi menyeluruh terhadap program rehabilitasi hutan yang sudah dilaksanakan,” ujar Lutfi.
Lutfi juga menyoroti pentingnya investigasi mendalam terhadap dugaan manipulasi laporan lapangan yang dilakukan oleh petugas survei dalam Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL).
“BPDAS dan Kementerian Lingkungan Hidup harus turun langsung mengevaluasi program RHL yang telah menghabiskan anggaran miliaran rupiah, namun gagal memberikan dampak nyata di lapangan. Kami juga meminta agar ada audit menyeluruh terhadap laporan dari petugas survei, karena kami menduga data yang disampaikan tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya dilokasi Program RHL,” tambahnya.
Dalam surat tersebut, LBH CAKRA akan menyertakan bukti-bukti terkait dampak banjir dan kondisi kawasan hutan yang rusak. Langkah ini diambil sebagai bentuk advokasi untuk mendorong tindakan nyata dari pemerintah pusat dan daerah dalam menangani kerusakan lingkungan di Situbondo.
“Kami tidak akan tinggal diam. Kami ingin memastikan ada tanggung jawab dari pihak-pihak terkait dan langkah konkret untuk memulihkan fungsi hutan lindung di wilayah ini demi mencegah bencana serupa di masa depan,” tutup Lutfi.