SITUBONDO – Ketua DPC Lembaga Bantuan Hukum Cahaya Keadilan Rakyat (LBH CAKRA), Novika Saiful Rahman, mengkritisi putusan Pengadilan Negeri (PN) Situbondo yang divonis hukuman penjara 3 bulan dengan masa percobaan 1 bulan serta denda Rp 5.000 kepada Kepala Desa Buduan, Zainal Abidin alias Haji Hosen, atas pelanggaran tindak pidana pemilu.
Dalam sidang Putusan yang digelar pada Senin (25/11/2024), Zainal dinyatakan bersalah setelah terbukti terlibat dalam aktivitas yang melanggar netralitas sebagai pejabat publik dalam proses pemilu.
Putusan ini menuai tanggapan keras dari Novika, yang menilai hukuman tersebut terlalu ringan untuk memberikan efek jera dan menjaga integritas demokrasi.
“Hukuman ini jelas terlalu lemah. Denda sebesar Rp 5.000 sama sekali tidak mencerminkan keseriusan penegakan hukum dalam menjaga keadilan pemilu. Apalagi, sebagai seorang kepala desa, seharusnya ia menjadi teladan dalam menjunjung tinggi netralitas dan demokrasi,” tegas Novika, Senin (25/11/2024).
Menurutnya, kasus ini mencoreng nilai demokrasi dan menjadi pengingat betapa pentingnya integritas pejabat publik.
“Tindakan Zainal Abidin bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap kepercayaan masyarakat Desa Buduan yang dipimpinnya. Ini adalah tamparan keras bagi upaya menciptakan pemilu yang bersih dan adil,” imbuhnya.
Novika juga menyerukan evaluasi terhadap regulasi dan sanksi hukum tindak pidana pemilu, agar hukuman yang dijatuhkan dapat memberikan efek jera yang signifikan.
“Jika hukuman yang dijatuhkan tidak mampu menimbulkan rasa takut untuk melanggar, maka kita hanya akan menyaksikan pelanggaran serupa terulang di masa mendatang,” tambahnya.
Selain mengkritisi putusan, Novika mengapresiasi peran masyarakat yang aktif melaporkan pelanggaran ini hingga diproses di meja hijau. Ia mendorong masyarakat untuk terus mengawasi jalannya demokrasi, khususnya dalam menghadapi pemilu mendatang.
“Partisipasi masyarakat sangat penting dalam memastikan pemilu berjalan sesuai aturan. LBH CAKRA siap menjadi mitra masyarakat dalam melaporkan dan mendampingi kasus-kasus yang berpotensi merusak demokrasi,” jelasnya.
Kasus ini, menurut Novika, harus menjadi pelajaran penting bagi pejabat publik lainnya agar tidak menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
“Kepala desa adalah simbol pemimpin yang dekat dengan rakyat. Jika pemimpinnya sudah bermain curang, bagaimana rakyat bisa percaya pada sistem demokrasi yang ada?” pungkasnya.
Putusan ini diharapkan menjadi peringatan bagi semua pihak, terutama pejabat publik, untuk menjaga netralitas dan integritas dalam proses pemilu, demi terciptanya demokrasi yang sehat dan berkeadilan.