DEPOK– Kajian Ekonomi dan Pembangunan Indonesia (Kanopi) FEB UI, Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) telah sukses menyelenggarakan acara Economic Talks and Discussion: Bedah Buku Mitos Fakta Sawit. (22/05)
Economic Talks and Discussion merupakan seminar dan forum terbuka yang mengundang para ekonom, pebisnis, dan pembuat kebijakan ternama yang telah menunjukkan pengetahuan dan kapasitasnya dalam mengatasi masalah ekonomi terkini di Indonesia. Pada tahun ini, Kanopi FEB UI berkolaborasi dengan Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) untuk menyelenggarakan seminar “Economic Talks and Discussion: Bedah Buku Mitos Fakta Sawit Edisi Keempat” dengan tema “Gain or Drain: Digging the Truth within Indonesia’s Palm Oil Dilemma”.
Dalam seminar ini, terdapat rangkaian bedah dan diseminasi buku bertajuk “Mitos Vs Fakta: Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global Edisi Keempat” yang ditulis oleh PASPI dengan dukungan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Acara ini juga mencakup lomba esai dan infografis tingkat nasional yang mengundang partisipasi perguruan tinggi dari seluruh Indonesia. Acara tersebut dilaksanakan di Auditorium MRPQ Lt.4 Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok.
Universitas Indonesia merupakan universitas penutup dari rangkaian sosialisasi buku “Mitos Vs Fakta: Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global Edisi Keempat” yang sebelumnya telah dilaksanakan di 10 universitas lainnya di Indonesia.
Seminar ini bertujuan untuk menyuguhkan diskusi multiperspektif dan faktual terkait industri sawit yang kerap menjadi polemik di kalangan masyarakat dan pembuat kebijakan. Peserta dapat menyaksikan diskusi dari para pembicara dan panelis mengenai isu-isu krusial seputar industri sawit di Indonesia, di antaranya Faisal Basri (Ekonom Senior), Arief Wibisono Lubis, Ph.D (Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaan FEB UI), Eddy Abdurrachman (Direktur Utama BPDPKS), Dr. Ir. Tungkot Sipayung (Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI)/Ketua Tim Penulis Buku), Felia Salim (Board of Director AndGreen Fund), Mohamad Dian Revindo, Ph.D. (Kepala Kelompok Penelitian Iklim Bisnis dan Rantai Nilai Global LPEM FEB UI), Achmad Surambo (Direktur Eksekutif Sawit Watch), dan Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec (Menteri Pertanian 2000-2004 dan Ketua Dewan Penasehat PASPI). Acara ini juga diramaikan oleh sejumlah dosen, mahasiswa, dan masyarakat umum yang memiliki minat terhadap isu menarik ini.
Sesi diskusi dalam acara ini membahas secara komprehensif kontribusi ekonomi industri sawit serta tantangannya, termasuk mengenai stagnasi produksi dan realisasi lahan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Diskusi ini turut merangkum dampak kebijakan global seperti proteksionisme dan ekonomi hijau terhadap industri sawit, serta isu deforestasi dan keberlanjutan lingkungan. Selain itu, aspek sosial dan hak-hak masyarakat lokal, kesejahteraan petani dan buruh sawit, serta pentingnya keadilan sosial menjadi fokus utama dalam menjelajahi dinamika kompleks industri ini.
Para pembicara dan panelis memberikan berbagai tanggapan yang kritis dan beragam mengenai bahasan industri kelapa sawit dalam acara ini. Dr. Ir. Tungkot Sipayung menekankan bahwa meskipun industri kelapa sawit masih menghadapi tantangan keberlanjutan, kontribusinya terhadap perekonomian sangat besar. Generasi muda perlu berinovasi agar sawit menjadi lebih berkelanjutan. Sawit adalah komoditas yang masih berkembang pesat, Indonesia menguasai 60 persen perdagangan sawit global. Indonesia adalah produsen sawit bersertifikasi terbesar di dunia. Menurutnya, diperlukan dorongan strategi untuk menjadikan sawit lebih berkelanjutan sambil mempertahankan kontribusi ekonominya.
Faisal Basri menyuguhkan pandangan yang berbeda. Pertama, Ia menekankan bahwa klaim penghematan solar dalam pengelolaan industri kelapa sawit oleh pemerintah adalah hoaks dan lebih merupakan opportunity cost daripada financial cost. Selama ini terdapat berbagai kebijakan pemerintah yang justru merugikan industri kelapa sawit. Salah satu nya adalah kebijakan B20 dan B30 yang masih kurang optimal. Ia berpendapat bahwa penghematan bahan bakar solar dari kebijakan ini merupakan hoaks dan bahwa kebijakan ini justru merupakan opportunity cost yang besar bagi Indonesia karena terdapat kesempatan ekspor yang hilang. Selain itu, Ia juga mengkritik kurangnya komitmen pemerintah dalam mengatasi deforestasi dan kurangnya konsistensi dalam kebijakan untuk kesejahteraan petani sawit. Ia juga menyoroti pentingnya kolaborasi yang sehat antara petani dan perusahaan serta perlunya memperbaiki distribusi keuntungan di sektor ini.
Dari aspek lingkungan dan pembiayaan hijau, Felia Salim menyoroti stagnasi UMKM di Indonesia yang masih terlalu profit-oriented tanpa mempertimbangkan biaya lingkungan jangka panjang. Dengan 16 juta smallholders, nyatanya petani kelapa sawit kesulitan dalam menentukan harga pasar dan meningkatkan status sosial-ekonomi. Dengan begitu, Ia melihat bahwa produktivitas smallholders ini masih sangat rendah—produksi minyak sawit mereka sangat berfluktuasi mengikuti pergerakan harga dunia. Menurutnya, ini salah satu alasan terbesar rendahnya credit growth pada UKM di industri sawit. Selain itu, Felia Salim menekankan pentingnya mengadopsi standar internasional seperti Green Taxonomy dan Corporate Sustainability Reporting Directive pada 2025. Menurutnya, Indonesia harus melihat sustainability bukan sebagai biaya mahal, tapi investasi jangka panjang yang mengurangi food waste dan dampak kesehatan. Climate financing harus menjaga profitabilitas dan inklusi sosial, serta menerapkan kebijakan untuk mengatasi deforestasi dan degradasi lahan.
Selanjutnya, Dian Revindo menyuguhkan pandangan seorang peneliti dan akademik. Ia berpendapat bahwa buku Mitos Fakta Sawit Edisi Keempat, walaupun sudah bersifat akademik, juga mengandung unsur advokasi sawit. Dengan itu, Ia berharap pembaca tetap bersifat kritis dalam membaca dan tetap mengacu juga pada referensi-referensi akademik lainnya. Buku ini menyediakan sudut pandang pro dan kontra terkait industri sawit, sehingga mereka bisa membentuk pendirian sendiri. Ia juga menyoroti bahwa buku tersebut mengasumsikan bahwa ada banyak pandangan negatif tentang penanaman sawit yang perlu dihadapi dengan data dan argumen yang jelas. Menurutnya, buku ini tepat dibaca oleh diplomat, pegiat, dan calon investor industri sawit.
Achmad Surambo menyatakan bahwa iIndustri kelapa sawit Indonesia mencakup sekitar 16,8 juta hektar menurut data pemerintah, tetapi data Sawit Watch menunjukkan luas mencapai 25,3 juta hektar pada 2023. Ekspansi sawit telah merambah ke berbagai wilayah termasuk Jawa, menimbulkan risiko pada biodiversitas dan keberlanjutan lingkungan. Deforestasi yang diakibatkan oleh perkebunan sawit mengakibatkan hilangnya karbon dan sumber air, serta sering terjadi pelanggaran terhadap aturan sempadan sungai. Pemerintah telah menginisiasi rencana aksi nasional sawit berkelanjutan, namun implementasinya masih minim dengan hanya beberapa provinsi dan kabupaten yang mengadopsi kebijakan tersebut. Selain itu, masalah sawit di kawasan hutan, ketidakjelasan definisi petani sawit, serta kurangnya kepemilikan dan legalitas buruh sawit masih menjadi tantangan besar yang memerlukan solusi dan perbaikan kebijakan.
Dengan menggabungkan perspektif ekonomi, sosial, dan lingkungan, acara ini bertujuan memberikan wawasan komprehensif dan solusi terhadap polemik industri kelapa sawit di Indonesia. Melalui acara Economic Talks and Discussion, diharapkan semua pihak, baik dari kalangan akademisi, pemerintah, pelaku industri, mahasiswa, dan masyarakat luas dapat lebih memahami dan mendukung perkembangan industri kelapa sawit secara berkelanjutan. Acara ini juga menjadi wadah penting untuk membangun kolaborasi yang sehat antara berbagai pemangku kepentingan, serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya efisiensi dan intensifikasi dalam penggunaan lahan guna menghindari deforestasi.