BANTUL – Pemilik ternak babi di Padukuhan Plumutan, Kalitrahan Mulyodadi, Kapanewon Bambanglipuro, Kabupaten Bantul, Yohanes Nindarto minta keadilan menyusul aksi warga memblokade di rumahnya.
“Saya kaget dan tidak menduga bahwa warga mendatangi rumah saya (tiga hari yang lalu) secara beramai-ramai. Demo dengan sikap anarkis yang sangat merugikan, dan tidak menyenangkan,” kata Nindarto kepada awak media di Bantul, Jumat (18/4/2025).
Ia mengaku sebagai peternak babi legal yang menaati hukum dan aturan pemerintah. Memiliki izin yang terbit sejak Oktober 2023, yaitu izin melalui Online Single Submission (OSS) yang resmi dari pemerintah pusat.
Nindarto juga terus berusaha berkordinasi dengan dinas terkait untuk melengkapi segala kekurangan dan kewajibannya.
“Sekali lagi, izin ini kami dapatkan secara resmi dari pemerintah dan selalu kami upayakan pemenuhan izin terkait lainnya. Tidak ada sedikit pun uang yang kami keluarkan untuk mendapatkan izin resmi peternakan ini,” jelasnya.
Ia menjelaskan seputar kronologi aksi warga memblokade rumah dan peternakan babinya. Menurutnya demo warga sejak 16 Oktober 2023 yang sampai melakukan mediasi di depan aparatur pemerintah daerah. Selalu menekankan pada bau babi yang dikatakan tidak sedap sampai ke rumah-rumah tetangga.
“Sekali lagi, saya menjelaskan bahwa warga melakukan demo karena bau yang mengganggu mereka. Dari situ kami selalu melakukan pembersihan, penyedotan limbah, bahkan pembangunan pembuangan limbah (IPAL) supaya bau tertangani,” katanya.
Proses pembersihan, lanjutnya, selalu dilakukan setiap hari, mulai dari memandikan babi, membersihkan kandang, sampai ke pembuangan limbahnya. Bahkan, dirinya mengajak diskusi dinas terkait dan selalu memberikan laporan perkembangan peternakan sebagai wujud tanggung jawabnya.
“Namun, ternyata masih saja warga tidak terima dengan tetap mengacu pada bau di peternakan. Warga tetap ngotot (bersikeras) bahwa kami harus menghilangkan semua babi,” ujarnya.
Nindarto mengungkapkan sebelum ternak babi ia dahulu beternak ayam yang baunya lebih menyengat daripada babi. Itu pun selalu ia upayakan penanganan baunya, dan semua baik-baik saja.
“Namun, saat kami beternak babi yang sudah lengkap dengan izin dan bau juga selalu kami jaga, kok malah ada warga berdemo tanpa memberikan solusi,” keluhnya.
Ia menekankan pihaknya terus bersinergi dengan dinas dan rutin melaporkan kondisi peternakan setiap 6 bulan.
Sedangkan demo warga terjadi di Kantor DLH. Dan kemudian Kepala DLH mengeluarkan surat keputusan penghentian sementara pada 9 Oktober 2024, bukan penutupan. Atas inisiatif Kasatpol PP Kabupaten Bantul, dilaksanakan mediasi di kantor Satpol PP tanggal 11 Oktober 2024. Tidak ditemukan solusi saat itu sehingga pihaknya mengalah dengan memutuskan bersedia menjalankan keputusan penghentian sementara dari Kepala DLH Kabupaten Bantul. Dengan cara mengurangi populasi secara bertahap sampai kondisi bau yang dipermasalahkan bisa tertangani sehingga keadaan kondusif.
Di akhir pertemuan, lanjut ia, Kasatpol PP juga berpesan kepada warga untuk tidak berdemo, apalagi langsung mendatangi pemilik peternakan. Jika ingin menyuarakan pendapat, warga dipersilakan di kantor pemerintahan.
“Kami kurangi besar-besaran populasi, termasuk yang belum saatnya dijual. Bahkan sempat kami coba juga, menjual 2 indukan bunting yang tidak kami duga keduanya mati di perjalanan,” katanya.
Nindarto berterima kasih kepada Kasatpol PP Kabupaten Bantul yang telah mengupayakan berbagai mediasi demi ditemukannya solusi atas polemik ini. “Pada awal terjadinya gejolak peternakan ini, beliau langsung turun ke lokasi, dengan tegas di depan warga dan bapak ibu dinas menyatakan agar peternakan saya berjalan dulu karena mengantongi izin, tetapi dengan syarat upaya pengelolaan limbah secara benar di bawah bimbingan DLH dan dinas peternakan,” ucapnya.
Namun, di tengah proses tersebut, wakil warga mendatangi Nindarto dan meminta populasi dihabiskan. Padahal saat itu populasi tinggal 9 ekor indukan (4 menyusui) dan 1 pejantan yang sama sekali tidak menimbulkan bau. Atas permintaan itu, ia menyatakan keberatan karena sejak awal yang dipermasalahkan adalah bau, bukan keberadaan hewan ternak.
Selanjutnya, sambungnya, terjadi lagi demo warga di Kantor Bupati. Luar biasanya, Kasatpol PP langsung menindaklanjuti dengan turun meninjau Lokasi, disusul oleh Camat Bambanglipuro bersama dua ajudan meninjau keadaan lokasi peternakannya. Singkat cerita, dilakukan mediasi di Kapanewon Bambanglipuro. Di situ, Pak Dukuh mewakili warganya menyatakan pokok permasalahan hanya pada aroma/bau.
Nindarto mengatakan, pada 10 Maret 2025 Kasatpol PP mengeluarkan surat untuk menghentikan peternakan. Meski berat hati, ia tetap menaati dan langsung melakukan proses penjualan secara bertahap. Walaupun ia juga bingung setelah ini mau kerja apa. Di tengah kondisi perekonomian yang semakin terasa sulit.
Namun betapa kagetnya Nindarto. Ia tidak menduga bahwa dalam proses pelaksanaan keputusan tersebut, warga justru mendatangi rumahnya, beramai-ramai demo dengan sikap anarki yang sangat merugikan dan tidak menyenangkan.
Warga memblokade semua pintu masuk rumahnya dengan kayu-kayu besar dan sampah-sampah. “Sampai kami sekeluarga tidak bisa kemana-mana dan ketakutan sampai sekarang,” katanya.
Dengan blokade rumah ini, Nindarto sekeluarga merasa drop sekali. Istrinya tidak bisa berjualan, anak tidak berani sekolah, keluarga besar tidak berani menjenguk, dan bahkan orang-orang yang saat itu mau membeli babi, semua takut. “Dan sampai hari ini (18/4/2025), rumah kami masih diblokade dan lebih diperkuat, bahkan dijaga tiap malam oleh warga,” tukasnya.
Sejak awal demo, tandasnya, ia tidak diberi kesempatan berbicara oleh warga sama sekali untuk menceritakan proses yang sudah didiskusikan ke Panewu Bambanglipuro, dan dinas terkait.
“Mereka seakan membungkam kami saat mau berbicara. Bahkan dengan media saat kami mau memberikan suara bahwa proses pengosongan sedang kami lakukan sesuai amanat Bupati, kami malah dibungkam lagi dengan aksi demo warga. Bagaimana kami bisa menjual babi sesuai arahan pemerintah kalau diblokade seperti ini?” tanyanya.
Hari Kamis (17/4/2025), akhirnya ada satu temannya yang berani membeli babinya meski jalan diblokade warga. Dengan susah payah, Nindarto mengeluarkan babi sampai yang kecil-kecil yang masih menyusu juga ia jual.
Dalam bisnis, diakui itu merupakan kerugian besar, tetapi karena dirinya menaati arahan Bupati Bantul, ia tetap melakukan dan menepati komitmen. Saat ini, ia menyisakan ada sekitar 7 ekor yang belum bisa dijual karena pembeli tidak berani dengan alasan masih kondisi bunting. “Pembeli siap membeli saat nanti sudah keluar anaknya. Itu semua sudah kami koordinasikan dengan pemerintahan setempat, Panewu dan Satpol PP,” jelasnya.
Menutup keterangannya, Nindarto berterima kasih kepada Bupati yang memberi waktu kepadanya dalam menjalankan proses untuk bisa mengurangi dan secara bertahap mengosongkan kandang ternaknya.
“Kemudian juga Panewu dan Satpol PP beserta jajarannya yang selalu mau aktif berkoordinasi, mendengarkan keluhan, serta membantu proses membereskan kandang kami sesuai arahan Pak Bupati,” pungkasnya. (bams)