NGANJUK – Sopir truk lokal di Kabupaten Nganjuk semakin terhimpit akibat kenaikan harga tanah uruk yang dilakukan oleh pengusaha tambang galian C.
Tanpa pemberitahuan sebelumnya, harga tanah uruk melonjak dari Rp 200.000 per rit menjadi Rp 300.000 per rit. Kenaikan harga ini diduga merupakan hasil kesepakatan dalam rapat asosiasi tambang dan adanya penyesuaian pajak yang diberlakukan oleh pemerintah daerah, Jumat (31/1/2025)
Berdasarkan informasi yang dihimpun Portal Indonesia, kebijakan ini mendapat reaksi keras dari para sopir truk yang selama ini mengandalkan pengangkutan tanah uruk sebagai mata pencaharian utama. Mereka menilai kenaikan harga ini akan semakin memperkecil margin keuntungan mereka, yang selama ini sudah minim akibat tingginya biaya operasional.
Klarifikasi Pemerintah: Kenaikan Sah, Beban Biaya Operasional Meningkat
Saat dikonfirmasi, Kepala Bidang Pengawasan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Nganjuk, Dion, menyatakan bahwa kenaikan harga tanah uruk merupakan hak pengusaha tambang. Menurutnya, beban operasional yang meningkat bisa menjadi alasan utama di balik kenaikan harga tersebut.
“Dari sisi pajak, kami hanya menjalankan aturan yang berlaku, yaitu pajak 20 persen untuk pemerintah daerah dan 5 persen untuk provinsi. Jadi, jika pengusaha tambang menaikkan harga tanah uruk menjadi Rp 300.000, itu merupakan keputusan mereka sendiri. Bisa jadi ini akibat biaya operasional yang naik,” jelasnya saat ditemui di ruang Sekretaris Dinas Bapenda.
Lebih lanjut, Dion berpendapat bahwa sopir truk tetap memiliki ruang keuntungan yang besar meskipun harga tanah uruk naik. Ia memberikan simulasi bahwa jika harga beli tanah uruk Rp 200.000 dan harga jualnya Rp 500.000, maka sopir masih mendapatkan keuntungan Rp 300.000 per rit.
Sopir Truk Membantah: Keuntungan Kami Tidak Sebesar Itu!
Pernyataan ini langsung dibantah oleh para sopir truk. Yanto, salah satu sopir lokal yang ditemui di lapangan, mengungkapkan bahwa perhitungan yang disampaikan pemerintah tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Menurutnya, dari harga jual Rp 500.000 per rit, keuntungan bersih yang diperoleh sopir hanya sekitar Rp 50.000 per rit setelah dikurangi berbagai biaya operasional.
“Banyak yang tidak memahami bahwa dari harga jual Rp 500.000, kami harus membeli tanah uruk Rp 200.000. Sisa Rp 300.000 itu masih harus dipotong untuk biaya solar Rp 100.000 dan sewa truk Rp 150.000. Jadi, keuntungan bersih kami hanya Rp 50.000 per rit. Kalau harga tanah uruk naik jadi Rp 300.000, maka keuntungan kami habis!” jelas Yanto dengan nada kesal.

Kondisi ini membuat para sopir truk semakin frustasi. Dengan keuntungan yang semakin tipis, banyak sopir yang mulai kesulitan menutupi biaya operasional harian. Apalagi, harga bahan bakar dan suku cadang truk juga terus meningkat.
Ancaman Demonstrasi: Sopir Truk Siap Turun ke Jalan
Ketidakpuasan para sopir truk terhadap kebijakan ini semakin memuncak. Mereka merasa bahwa keputusan sepihak yang diambil oleh pengusaha tambang tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap mereka adalah bentuk ketidakadilan.
“Jika situasi ini terus berlanjut, kami tidak akan tinggal diam. Kami akan turun ke jalan untuk meminta keadilan kepada Bupati. Bupati adalah pemimpin kami, seharusnya dia mendengar keluhan rakyat kecil seperti kami. Kami tidak akan ragu untuk melakukan aksi demonstrasi agar kebijakan ini bisa dievaluasi,” tegas Yanto.
Para sopir berharap ada solusi dari pemerintah daerah untuk menekan harga tanah uruk agar tidak membebani mereka. Mereka juga meminta agar ada transparansi dalam penentuan harga dan kebijakan pajak agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Dengan meningkatnya tekanan dari para sopir, kini bola panas ada di tangan pemerintah daerah dan asosiasi tambang. Apakah ada jalan tengah yang bisa dicapai? Ataukah konflik ini akan semakin memanas hingga benar-benar berujung pada demonstrasi besar-besaran? (Tim Liputan – Portal Indonesia)