Portal Jatim

Dinilai Merusak Sistem Hukum, Ratusan Mahasiswa dan Praktisi Serukan Penolakan RUU Kejaksaan

Redaksi
×

Dinilai Merusak Sistem Hukum, Ratusan Mahasiswa dan Praktisi Serukan Penolakan RUU Kejaksaan

Sebarkan artikel ini

KOTA MALANG – Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Pemuda Mahasiswa Jawa Timur menggelar diskusi dan deklarasi menolak Rancangan Undang-Undang Kejaksaan (RUU Kejaksaan) pada Jumat (21/02/2025).

Forum diskusi yang digagas oleh Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) ini menghadirkan berbagai aktivis, praktisi hukum, dan mahasiswa. Acara berlangsung di Hotel Pelangi Dua, Jl Simpang Gajayana, Kota Malang, pada Kamis (20/2/2025).

Sejumlah akademisi dan praktisi hukum turut menjadi narasumber, di antaranya Ketua Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Merdeka (Unmer) Malang, Dr. H. Supriyadi, S.H., M.H., advokat sekaligus praktisi hukum, Firdaus, serta aktivis Syarif Hidayatullah.

Dalam forum ini, peserta membedah pasal-pasal yang dianggap rancu dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dalam sistem peradilan Indonesia.

Firdaus menyoroti ketentuan yang mengharuskan izin Kejaksaan Agung sebelum seorang jaksa diperiksa atas dugaan tindak pidana.

“Izin Kejaksaan Agung sebelum memeriksa jaksa adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan berpotensi membuka celah intervensi antar lembaga negara dalam proses penegakan hukum,” tegas Firdaus.

Pasal 28 RUU Kejaksaan yang memberikan kewenangan penyidikan kepada Kejaksaan juga menjadi sorotan. Menurut Firdaus, hal ini bertentangan dengan prinsip pemisahan tugas antara lembaga penegak hukum.

“Kejaksaan juga diberi wewenang untuk menghentikan penyidikan. Ini berbahaya, karena bisa menimbulkan konflik kepentingan. Kewenangan yang tumpang tindih justru memperumit penyelesaian perkara,” lanjutnya.

Firdaus menekankan bahwa dalam sistem demokrasi, semua warga negara dan institusi harus diperlakukan setara di hadapan hukum. Jika seorang anggota kepolisian yang diduga korupsi bisa langsung ditangkap dan diproses, maka seharusnya jaksa juga demikian.

“RUU ini memungkinkan Kejaksaan menghentikan perkara yang ditangani kepolisian. Lalu, siapa yang bertanggung jawab? Ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum,” kritiknya.

Baca Juga:
Terekam Kamera, Dua Penjambret Viral di Malang Dibekuk dalam 2x24 Jam

Selain itu, Firdaus menegaskan bahwa perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap peran Kejaksaan, bukan sekadar memperluas kewenangannya tanpa mekanisme pengawasan yang memadai.

“Memperlebar kewenangan tanpa pengawasan yang kuat justru akan memperburuk sistem hukum. Seharusnya, yang diperkuat adalah Komisi Pengawasan Kejaksaan, bukan menambah tumpang tindih kewenangan,” ujarnya.

RUU Kejaksaan dinilai bertentangan dengan prinsip dasar pembentukan undang-undang yang harus menjamin kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan bagi masyarakat.

Sementara itu, Dr. H. Supriyadi, S.H., M.H., dari Unmer Malang menambahkan bahwa perubahan sistem hukum harus mengedepankan efektivitas dan kepastian hukum, bukan malah menciptakan kebingungan baru.

“Jika sistem ini tetap dipaksakan, dikhawatirkan akan semakin memperumit proses penegakan hukum,” katanya.

Di akhir diskusi, seluruh peserta menyatakan sikap dengan melakukan deklarasi penolakan terhadap RUU Kejaksaan.

Mereka menegaskan bahwa rancangan ini tidak hanya memperumit sistem hukum, tetapi juga dapat menghilangkan tanggung jawab lembaga penegak hukum.

“Kami menolak bukan hanya karena aturan ini bermasalah, tetapi juga karena kepastian hukum bagi masyarakat yang dipertaruhkan. Regulasi yang tidak jelas hanya akan merugikan rakyat,” tandas Syarif Hidayatullah.

Deklarasi yang dilakukan oleh aktivis, praktisi hukum, dan mahasiswa Jawa Timur ini menjadi bentuk perlawanan akademik serta aspirasi masyarakat agar pemerintah dan legislatif mempertimbangkan kembali RUU Kejaksaan sebelum disahkan.

Dengan adanya kritik dan masukan dari berbagai pihak, diharapkan sistem hukum Indonesia dapat berjalan lebih transparan, adil, dan bertanggung jawab. (Junaedi)