SLEMAN – Harga cabai di tingkat petani di wilayah Kabupaten Sleman, daerah Istimewa Yogyakarta kini turun drastis, hingga mencapai dibawah biaya produksi.
Meski demikian para petani tidak patah semangat, sehingga tanamaan cabai miliknya tetap dipelihara.
Seorang petani calai di wilayah kalurahan Candibinangun, Kapanewon Pakem,Kabupaten Sleman, Sugeng menuturkan, harga jual Cabai Merah Keriting (CMK) yang perah mencapai Rp70.000 per kilogram, kini hanya laku sekitar Rp6.000 per kilogram.
Harga tersebut, lanjut Sugeng jauh dibawah biaya produksi. Namun, meski saat ini harga cabai merah keriting atau yang biasa dikenal CMK ini rendah, tetapi petani tetap melakukan perawatan dan pemeliharaan tanamannya.
“Breruntung dalam membudidayakan tanaman cabai, saya banyak menggunakan pupuk organik dan agensia hayati, sehingga biayanya bisa ditekan yang akhirnya disaat harga murah seperti ini kerugian yang diderita tidak terlalu banyak,” ujar Sugeng.
Sementara itu Plt. Kepala Dinas Pertanian, Pangan dan Perikanan Kabupaten Sleman Suparmono saat meninjau tanaman cabai merah keriting di Samberembe Wetan, Kalurahan Candibinangun, Kapanewon Pakem, Sleman mengapresiasi teknologi budidaya ramah lingkungan dan berbiaya rendah yang diterapkan oleh Sugeng.
“Tahun 2023 Dinas Pertanian Sleman sudah menerbitkan SOP Budidaya Cabai Sehat Ramah Lingkungan, selain untuk meningkatkan adaptasi DPI, menjaga kualitas produk juga tujuannya untuk meningkatkan keuntungan petani” terang Suparmono.
Menanggapi harga CMK yang rendah saat ini, Suparmono menjelaskan bahwa hal tersebut sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran.
Berdasarkan data statistik hortikultura (sipedas.pertanian.go.id), produksi cabai merah keriting dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Jambi, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh cukup tinggi.
Dinas Pertanian, Pangan dan Perikanan Kabupaten Sleman memprediksi harga akan mulai meningkat di awal November, dan pada bulan Desember diperkirakan harga CMK dan Cabai Rawit akan tinggi dan tetap optimis mampu mencapai target Nilai Tukar Petani (NTP) sebagai alat ukur kesejahteraan petani.
Nilai Tukar Petani atau NTP adalah angka perbandingan antara indeks harga yang diterima dengan indeks harga yang dibayar petani yang dinyatakan dalam persentase.
Diketahui indikator NTP dinyatakan dalam tiga pengertian yakni NTP > 100 berarti petani mengalami surplus, NTP = 100, berarti petani mengalami impas dan NTP< 100 berarti petani mengalami defisit.
“ 2 tahun berturut-turut, hortikultura menyumbang NTP tertinggi dibanding subsektor tanaman pangan, perkebunan, peternakan maupun perikanan yaitu sebesar 115,14 di tahun 2022 menjadi 121,07 pada tahun 2023” terang lelaki yang akrab dipanggil “pak Pram” ini.
Diketahui BPS DIY mencatat pada September 2024 DIY mengalami deflasi 0,10% secara bulanan (month-to-month/mtm) yang merupakan deflasi ke-5 sepanjang 2024.
Menanggapi hal tersebut, Suparmono berharap semoga penurunan daya beli dan perekonomian yang melemah tidak berdampak pada NTP di Sleman.
“Kami akan mendorong agar margin petani meningkat, sehingga selisih yang diperoleh petani dari biaya produksi dan penjualan bisa menghasilkan keuntungan” jelas Suparmono. (Brd)