Kekalahan Timnas Indonesia di tangan Irak dan Arab Saudi bukan sekadar soal skor, tetapi cerminan lebih dalam dari krisis manajemen di tubuh skuad Garuda. Patrick Kluivert, yang didatangkan dengan janji “menyuguhkan kemenangan dan permainan cantik,” kini menghadapi gelombang kritik deras dari publik, analis, hingga mantan pemain.
Dari hasil evaluasi para pengamat seperti Gita Suwondo dan Oki Rengga, serta beberapa sumber olahraga terpercaya, kegagalan Kluivert bukan sekadar nasib buruk — melainkan gabungan dari kesalahan taktik, komunikasi buruk di ruang ganti, dan lemahnya kepemimpinan.
1. Janji Besar, Realita Pahit
Ketika pertama kali diperkenalkan pada Januari 2025, Patrick Kluivert membawa harapan besar. Ia menjanjikan sepak bola menyerang, progresif, dan hasil nyata di Kualifikasi Piala Dunia 2026.
Namun kenyataannya jauh dari ekspektasi. Indonesia hanya mencatat tiga kemenangan, satu hasil imbang, dan empat kekalahan — termasuk kekalahan telak dari Irak dan Arab Saudi yang memupus peluang menuju Piala Dunia
Menurut analis Gita Suwondo, Kluivert tidak memiliki “game plan B”.
“Begitu rencana awalnya gagal, ia tidak tahu harus berbuat apa. Dalam empat dari delapan pertandingan terakhir, ia menurunkan formasi yang salah,” jelasnya.
2. Hilangnya Kontrol Ruang Ganti
Masalah utama lain yang mencuat adalah hilangnya kendali pelatih terhadap ruang ganti. Beberapa pemain disebut memprotes keputusan Kluivert, mempertanyakan mengapa mereka tidak dimainkan tanpa mendapat penjelasan masuk akal
Oki Rengga menilai ini sebagai indikasi hilangnya rasa hormat pemain terhadap pelatih:
“Ketika pelatih tidak bisa menguasai ruang ganti, pemain merasa besar sendiri. Apa yang dibilang pelatih tidak akan sampai ke pemain,” tegasnya
Kurangnya disiplin dan ketegasan dianggap membuat atmosfer tim tak sehat. Di era Shin Tae-yong, aturan tegas dan profesionalisme tinggi diakui sebagai kunci keberhasilan Timnas sebelumnya — hal yang justru hilang di era Kluivert.
3. Salah Strategi dan Minim Adaptasi
Dari sisi teknis, pendekatan Kluivert juga banyak dipertanyakan.
Mulai dari pemilihan starting eleven yang tak konsisten, pergantian pemain yang terlambat, hingga keengganan mendengarkan asisten pelatih seperti Alex Pastor, yang sebenarnya dikenal piawai dalam taktik
Contoh paling disorot adalah keputusan tidak cepat menarik Yakob Sayuri dan Marco yang tampil buruk saat melawan Irak.
“Pelatih yang baik harus peka membaca situasi. Kluivert terlalu lama bereaksi,” ujar Suwondo.
Selain itu, beberapa analis juga menyoroti bahwa gaya permainan Kluivert terlalu Eropa sentris, tidak disesuaikan dengan karakter pemain Indonesia yang lebih cepat dan kreatif dalam transisi.
4. Evaluasi yang Terlambat dan Sikap Menghindar
Salah satu hal paling disesalkan publik adalah ketidakhadiran Kluivert dalam rapat evaluasi PSSI. Berbeda dengan Shin Tae-yong yang datang langsung menghadapi Exco setelah kekalahan, Kluivert disebut memilih untuk tidak hadir — yang memunculkan kesan “menghindar dari tanggung jawab”
Hal ini membuat analis menilai proses evaluasi PSSI menjadi terlalu lama dan tidak tegas, padahal waktu menuju turnamen berikutnya seperti Piala Asia 2027 dan AFF 2026 semakin dekat.
5. Siapa Pengganti yang Tepat?
Publik kini mendesak pergantian pelatih. Dua nama mencuat dalam diskusi para pengamat:
- Alex Pastor, asisten Kluivert yang dianggap lebih memahami taktik dan karakter pemain. 
- Shin Tae-yong (STY), meski kecil kemungkinan kembali karena hubungan yang “penuh drama” dengan federasi 
Oki Rengga menilai siapa pun penggantinya, satu hal penting harus dijaga: ketegasan dan kontrol ruang ganti.
“Pelatih boleh siapa saja, tapi dia harus bisa bikin pemain disiplin. Kalau enggak, tim ini bakal longgar terus,” ujarnya.
6. Tanggung Jawab Erick Thohir dan PSSI
Banyak pihak juga menyoroti tanggung jawab PSSI dan Ketua Umum Erick Thohir.
Publik mengingatkan bahwa keputusan mengganti pelatih di tengah kompetisi adalah langkah berisiko tinggi yang kini terbukti membawa dampak buruk.
“Kita harus ucapkan terima kasih karena banyak kemajuan di era Erick Thohir, tapi tanggung jawab atas kegagalan ini juga harus diambil,” kata Oki Rengga
PSSI kini dituntut segera memberi pernyataan resmi dan arah baru, agar dukungan publik tidak makin luntur dan kepercayaan terhadap program jangka panjang 2030 tetap terjaga.
Kesimpulan
Kegagalan Patrick Kluivert bukan hanya karena faktor taktik, tetapi karena krisis kepemimpinan dan komunikasi di tubuh Timnas Indonesia. Tanpa ruang ganti yang sehat, disiplin yang kuat, dan arah taktik yang jelas, siapapun pelatihnya akan menghadapi tantangan serupa.
Kini semua mata tertuju pada PSSI dan Erick Thohir — apakah mereka akan bertindak cepat menyelamatkan arah Timnas, atau membiarkan kisah pahit ini berulang?















