Epilepsi merupakan suatu kondisi gangguan neurologis atau saraf yang ditandai dengan kemunculan kejang secara berulang. Di Indonesia, gangguan saraf ini juga dikenal sebagai penyakit ayan, yang muncul dalam bentuk kelojotan atau sentakan badan. Sayangnya, kondisi ini sering dikaitkan dengan berbagai mitos atau stigma yang tidak tepat. Beberapa kelompok masyarakat menilai bahwa penyakit epilepsi adalah tanda seseorang mengalami kesurupan roh jahat dan kondisi ini bisa menular ke orang lain. Padahal, anggapan tersebut sama sekali tidak berdasar dan perlu diluruskan.
Penyakit epilepsi juga ternyata memiliki konsekuensi psikologis dan sosial yang secara signifikan memengaruhi sebagian besar aspek kehidupan penderitanya. Beberapa aspek, termasuk pekerjaan, interaksi sosial, relasi dengan keluarga, dan pengalaman eksperimental, dapat berakibat pada menurunnya kualitas hidup orang dengan epilepsi (ODE). Melalui tulisan di bawah ini, kita akan mempelajari lebih lanjut terkait mitos dan fakta dari penyakit epilepsi. Silakan akses https://chouneurosurgery.id/condition/penyakit-epilepsi untuk melihat penyakit epilepsi dari sudut pandang medis.
Benarkah Epilepsi Bisa Menular dan Tanda Kesurupan?
Epilepsi sering disalah mengerti oleh sebagian masyarakat Indonesia sebagai kondisi mistis yang berkaitan dengan hal-hal spiritual, kutukan, dan guna-guna. Dilansir dari penelitian berjudul Attitudes toward epilepsy in Indonesia yang dilakukan oleh Suryani, Gunadharma dkk. (2021), masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa epilepsi bukanlah suatu penyakit melainkan tanda fenomena kerasukan setan. Perspektif ini tidak lepas dari kondisi sosial, ekonomi, tingkat keragaman, dan budaya. Semakin tinggi tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan, semakin baik pula sikap masyarakat terhadap epilepsi.
Selain itu, ada pula yang masih mempercayai bahwa epilepsi dapat menular, padahal sudah banyak penelitian yang menolak pandangan ini. Epilepsi ada penyakit saraf dan tidak bisa menular, baik melalui sentuhan, air liur, atau medium lainnya. Namun, jika seseorang memiliki anggota keluarga yang menderita epilepsi, ada kemungkinan orang tersebut juga akan mengalami penyakit ini.
Memahami Epilepsi dari Perspektif Medis
Epilepsi adalah suatu gangguan neurologis di mana seseorang mengalami beberapa serangan kejang tanpa adanya pemicu (unprovoked seizures) dalam waktu 24 jam. Kejang ini terjadi karena ada peningkatan aktivitas listrik yang berlebihan di dalam otak tanpa sumber penyebab yang pasti. Selain itu, kejang juga bisa jadi tanda adanya kelainan genetik dari otak. Di lain pihak, kejang yang diketahui pemicunya (provoked seizures), seperti kejang yang disebabkan oleh hipoglikemia, sering tidak dianggap sebagai tanda epilepsi. Dari sisi usia, epilepsi dapat menyerang siapa pun, dan biasanya dimulai pada masa kanak-kanak atau lansia di atas 60 tahun.
Kejang epilepsi memiliki beberapa tipe yang dapat dikelompokan berdasarkan sumber penyebab (onset), lokasi kemunculan atau pemicu kejang, dan apakah ada gerakan saat kejang terjadi. Menurut studi dari International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 2017, kejang epilepsi dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tipe, yaitu:
1. Generalized Onset Seizures (Kejang Umum)
Kejang tipe umum terjadi di kedua sisi otak atau pada kelompok sel di kedua sisi otak secara bersamaan. Kejang umum memiliki beberapa jenis berdasarkan gejala kejang, yang meliputi:
- Gejala motorik: gejala yang disertai dengan gerakan ini meliputi tonik (tubuh akan menjadi lebih tegang saat beristirahat), klonik (sentakan beritme karena otot yang menegang dan rileks dengan cepat), tonik-klonik (kejang yang diawali dengan fase tonik/menegang dan diikuti dengan fase klonik/menyentak), atonik (tubuh menjadi lemas), dan mioklonik (gerakan tubuh yang menyentak satu kali atau lebih dalam waktu singkat).
- Gejala non-motorik: gejala yang tanpa disertai gerakan ini meliputi kejang absans tipikal (kejang yang sulit dideteksi karena kejadiannya sangat cepat selama <10 detik dengan tampilan penderita melamun), absans atipikal (kejang ini bisa terjadi secara bertahap atau tiba-tiba dan berlangsung selama >10 detik dengan penderita memiliki tatapan kosong), absans mioklonik (gabungan dari kejang absans dan mioklonik yang lebih banyak menyerang laki-laki dan sering dimulai pada usia 7-12 tahun), dan lain-lain.
2. Focal Onset Seizures (Kejang Fokal)
Kejang fokal biasanya dimulai di satu area atau satu kelompok sel di salah satu sisi otak. Daripada menggunakan kata “parsial”, istilah “fokal” dipakai untuk lebih akurat menjelaskan lokasi kejang. Berdasarkan gejalanya, kejang fokal dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis, di antaranya:
- Gejala motorik: gejala ini meliputi tonik (otot tegang atau kaku), klonik (tubuh tersentak), kejang epilepsi/epileptic spasm (sentakan singkat dari tangan dan kaki yang mengarah ke tubuh), atonik (otot tubuh melemah), dan mioklonik (kedutan otot singkat).
- Gejala non-motorik: gejala ini meliputi kejang emosional (rasa takut atau cemas karena perubahan suasana hati), sensoris (kejang yang mempengaruhi panca indera ODE), aura (perasaan akan terjadinya kejang), dan behavior arrest (tidak adanya aktivitas gerak).
3. Unknown Onset Seizures (Kejang Tanpa Klasifikasi)
Titik awal dari kejang tanpa klasifikasi tidak diketahui. Terkadang kejang terjadi tanpa dilihat oleh siapa pun, misalnya pada malam hari atau pada ODE yang tinggal sendirian. Namun, seiring bertambahnya informasi, kejang tipe ini kemudian dapat didiagnosis sebagai kejang fokal atau kejang umum.
Langkah-Langkah Pengobatan
Epilepsi merupakan kondisi yang tidak bisa disembuhkan secara total, tetapi gejalanya bisa dikendalikan. Periksakan diri Anda ke dokter spesialis saraf atau dokter neurologi jika mengalami gejala kejang. Dokter spesialis akan melakukan beberapa langkah pemeriksaan epilepsi, yang meliputi:
- Anamnesis: wawancara medis sejak hari pertama ODE datang untuk mengetahui onset epilepsi sehingga dapat membantu dokter dalam menentukan jenis kejang.
- Pemeriksaan Fisik: prosedur ini dipakai untuk mengeliminasi penyebab-penyebab lain dari kejang.
- Tes Pencitraan: prosedur CT scan atau MRI bisa dipakai untuk memindai kelainan struktur otak yang dapat menjadi pemicu kejang.
- Pemeriksaan Penunjang: tes penunjang, seperti EEG (elektroensefalografi), dapat dilakukan untuk merekam aktivitas listrik di dalam otak.
Setelah meninjau kembali hasil pemeriksaan, dokter dapat memberikan rekomendasi pengobatan yang sudah disesuaikan dengan kondisi pasien. Beberapa pilihan pengobatan epilepsi meliputi:
- Pemberian resep obat anti kejang
- Diet ketogenik
- Pemasangan alat VNS untuk stimulasi saraf vagus guna mengontrol kejang
- Operasi epilepsi (biasanya dilakukan oleh dokter bedah saraf atau neurosurgeon)
Kesimpulan
Epilepsi sering kali berlangsung selama seumur hidup, tetapi kondisinya dapat membaik secara perlahan seiring waktu jika ditangani dengan tepat. Perlu diingat bawah sangat tidak dianjurkan bagi ODE untuk melakukan self-diagnose (diagnosis mandiri) terhadap kejang yang dialami. Hanya dokter spesialis saraf yang dapat menegakkan diagnosis dengan mengevaluasi hasil tes diagnostik yang sudah dilakukan untuk kemudian memberikan saran pengobatan yang sesuai dengan kondisi setiap pasiennya.